Bagaimana Trauma Masa Lalu Bisa Mempengaruhi Karier dan Cara Mengatasinya?

Bernardus Herdian Nugroho

Mar 5, 2025

Trauma masa lalu bukan hanya berdampak pada kesehatan mental, tetapi juga dapat mempengaruhi cara seseorang bekerja, berinteraksi dengan rekan kerja, hingga mengambil keputusan dalam karier. Banyak orang mungkin tidak menyadari bahwa hambatan yang mereka hadapi di dunia profesional bisa berakar dari pengalaman traumatis yang belum terselesaikan. Lalu, bagaimana trauma masa lalu memengaruhi karier, dan bagaimana cara mengatasinya agar tidak menjadi penghalang dalam perkembangan profesional?

Photo by David Garrison: https://www.pexels.com/photo/woman-holding-her-head-2128817/

Dampak Trauma Masa Lalu terhadap Karier

Menurut penelitian dari American Psychological Association (APA), trauma dapat mengubah cara otak memproses informasi, terutama dalam hal stres, ketahanan, dan hubungan sosial. Berikut adalah beberapa cara trauma bisa memengaruhi kehidupan kerja seseorang:

1. Takut Gagal atau Takut Sukses

Orang yang pernah mengalami kegagalan besar, pelecehan verbal, atau penghakiman keras di masa lalu sering mengalami ketakutan berlebih terhadap kegagalan. Mereka cenderung menghindari tantangan, memilih zona nyaman, atau bahkan menunda pekerjaan karena takut hasilnya tidak sempurna.

Sebaliknya, ada juga yang mengalami ketakutan terhadap kesuksesan. Mereka merasa tidak layak untuk berhasil karena trauma yang membuat mereka merasa rendah diri. Akibatnya, mereka bisa tidak sadar melakukan self-sabotage.

2. Overworking atau Toxic Productivity

Trauma juga bisa membuat seseorang bekerja secara berlebihan (workaholism) sebagai bentuk pelarian dari rasa tidak aman atau luka emosional. Mereka percaya bahwa dengan terus bekerja keras, mereka bisa membuktikan nilai diri mereka atau menghindari rasa sakit yang belum terselesaikan. Sayangnya, ini bisa berujung pada burnout dan kelelahan mental.

3. Kesulitan Berinteraksi dan Membangun Relasi

Trauma yang berakar dari lingkungan sosial, seperti bullying atau kekerasan dalam keluarga, bisa membuat seseorang kesulitan mempercayai orang lain. Di dunia kerja, ini bisa terlihat dalam bentuk kesulitan bekerja dalam tim, ketidakmampuan menerima kritik, atau sering merasa diserang ketika mendapat masukan dari atasan atau rekan kerja.

4. Rasa Tidak Percaya Diri dan Impostor Syndrome

Seseorang yang pernah mengalami pelecehan verbal atau diremehkan sejak kecil sering membawa pola pikir negatif tentang dirinya ke dunia kerja. Ini bisa berkembang menjadi impostor syndrome, di mana seseorang merasa bahwa dirinya tidak cukup baik atau bahwa kesuksesannya hanyalah kebetulan belaka. Akibatnya, mereka takut untuk mengambil peluang baru atau merasa tidak pantas mendapatkan promosi.

Cara Mengatasi Trauma Agar Tidak Menghambat Karier

Jika trauma masa lalu mulai berdampak pada pekerjaan dan perkembangan profesionalmu, berikut beberapa langkah yang bisa dilakukan:

1. Sadari dan Kenali Pola Trauma

Langkah pertama dalam mengatasi dampak trauma adalah menyadari pola pikir dan perilaku yang muncul akibat pengalaman traumatis. Perhatikan reaksi emosionalmu terhadap situasi tertentu, misalnya saat menghadapi kritik atau tekanan kerja.

2. Bangun Self-Compassion

Banyak orang dengan trauma sering terlalu keras pada diri sendiri. Cobalah untuk mulai berbicara dengan diri sendiri dengan lebih lembut dan penuh pengertian. Daripada menyalahkan diri sendiri atas kegagalan, anggap itu sebagai bagian dari proses belajar.

3. Latih Mindfulness dan Manajemen Stres

Praktik mindfulness dapat membantu mengurangi dampak trauma terhadap respons emosional dan stres. Teknik seperti meditasi, pernapasan dalam, atau journaling bisa membantu seseorang lebih sadar terhadap emosinya dan merespons dengan lebih tenang.

4. Cari Dukungan Sosial

Membuka diri kepada orang yang bisa dipercaya, seperti mentor, teman kerja, atau komunitas support, dapat membantu mengurangi beban trauma. Berbicara dengan orang lain bisa memberikan perspektif baru dan dukungan emosional yang dibutuhkan.

5. Jangan Ragu untuk Mencari Bantuan Profesional

Jika trauma masa lalu sudah terlalu menghambat kehidupan profesional, konsultasi dengan psikolog atau terapis bisa menjadi solusi terbaik. Terapi seperti Cognitive Behavioral Therapy (CBT) telah terbukti efektif dalam membantu individu mengubah pola pikir negatif yang disebabkan oleh trauma.

6. Tantang Ketakutanmu Secara Bertahap

Jika trauma membuatmu takut mengambil keputusan besar, cobalah untuk memulai dengan langkah kecil. Misalnya, jika kamu takut berbicara di depan umum karena pengalaman buruk di masa lalu, mulailah dengan berbicara dalam kelompok kecil sebelum akhirnya mencoba presentasi di depan banyak orang.

7. Fokus pada Pertumbuhan Diri

Alih-alih terus-menerus terjebak dalam ketakutan dan keraguan, mulailah mengembangkan growth mindset. Percayalah bahwa keterampilan dan kepercayaan diri bisa berkembang seiring waktu. Ingat, trauma bukanlah akhir dari segalanya, tetapi bisa menjadi batu loncatan untuk berkembang menjadi pribadi yang lebih kuat.

Kesimpulan

Trauma masa lalu memang bisa memberikan dampak yang signifikan terhadap karier seseorang, tetapi bukan berarti tidak bisa diatasi. Dengan menyadari pola pikir yang terbentuk akibat trauma, membangun self-compassion, dan mencari dukungan yang tepat, kita bisa mulai melepaskan hambatan yang menghalangi kesuksesan profesional.

Setiap orang memiliki peluang untuk berkembang, dan luka masa lalu tidak harus menentukan masa depan kita. Yang terpenting adalah bagaimana kita memilih untuk bangkit dan terus melangkah maju.

  • Baumeister, R. F., & Scher, S. J. (1988). Self-defeating behavior patterns among normal individuals: Review and analysis of common self-destructive tendencies. Psychological Bulletin, 104(1), 3–22. https://doi.org/10.1037/0033-2909.104.1.3

  • American Psychological Association. (2020). The impact of trauma on workplace performance. https://doi.org/10.1037/apl0000830

  • Clance, P. R., & Imes, S. A. (1978). The imposter phenomenon in high achieving women: Dynamics and therapeutic intervention. Psychotherapy: Theory, Research & Practice, 15(3), 241-247. https://doi.org/10.1037/h0086006