Toxic Productivity: Ketika Sibuk Bekerja Justru Membahayakan Kesehatan Mental

Bernardus Herdian Nugroho

Feb 16, 2025

Seringkali kita menyibukkan diri dengan bekerja berbagai hal, namun tahukah kalian bahwa tidak semua pekerjaan itu membuat kita semakin produktif. Disini kita akan membahas mengenai Toxic Productivity

unsplash.com

Sobat Relasi, di era digital ini, banyak dari kita merasa bahwa semakin sibuk, semakin produktif. Namun, apakah benar demikian? Faktanya, ada fenomena yang dikenal sebagai toxic productivity, yaitu obsesi untuk terus bekerja tanpa henti hingga mengorbankan kesehatan mental dan fisik. Artikel ini akan membahas secara mendalam tentang toxic productivity, dampaknya, dan bagaimana cara menghindarinya.

Apa Itu Toxic Productivity?

Toxic productivity adalah dorongan berlebihan untuk tetap produktif sepanjang waktu, bahkan ketika hal tersebut merugikan kesehatan fisik dan mental. Istilah ini menggambarkan budaya kerja yang memprioritaskan hasil dibandingkan kesejahteraan individu.

Menurut penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Occupational Health Science, toxic productivity dapat menyebabkan kelelahan kronis (burnout), kecemasan, hingga penurunan produktivitas jangka panjang (Salanova et al., 2020).

Karakteristik Toxic Productivity:

  • Terus bekerja meskipun sudah merasa lelah.

  • Merasa bersalah jika beristirahat.

  • Mengutamakan pekerjaan di atas kesehatan pribadi dan hubungan sosial.

  • Kesulitan memisahkan kehidupan kerja dan pribadi.

Mengapa Toxic Productivity Terjadi?

Beberapa faktor utama yang memicu toxic productivity di antaranya:

  1. Tekanan Sosial dan Budaya Hustle
    Media sosial sering kali menggambarkan kesuksesan sebagai hasil dari kerja keras tanpa henti. Akibatnya, banyak orang merasa gagal jika tidak selalu produktif (Wang et al., 2021).

  2. Ekspektasi Perusahaan yang Berlebihan
    Lingkungan kerja yang menuntut produktivitas tinggi tanpa memperhatikan keseimbangan kehidupan kerja dapat memicu toxic productivity (Sharma & Singh, 2022).

  3. Kecanduan Produktivitas
    Beberapa orang merasa berharga hanya jika mereka terus-menerus sibuk. Mereka takut terlihat "malas" jika mengambil waktu istirahat (Karakose et al., 2022).

Dampak Toxic Productivity pada Kesehatan Mental

Toxic productivity tidak hanya memengaruhi kinerja kerja, tetapi juga kesehatan mental secara keseluruhan.

📌 1. Burnout (Kelelahan Kronis)
Penelitian oleh Maslach & Leiter (2017) menunjukkan bahwa toxic productivity meningkatkan risiko burnout—kondisi kelelahan emosional dan kehilangan motivasi.

📌 2. Gangguan Kecemasan dan Depresi
Kebiasaan bekerja berlebihan meningkatkan tingkat kecemasan dan depresi karena otak tidak memiliki waktu yang cukup untuk beristirahat (Wang et al., 2021).

📌 3. Kualitas Hubungan Menurun
Toxic productivity membuat seseorang sulit membagi waktu untuk keluarga dan teman, yang mengarah pada konflik interpersonal (Sharma & Singh, 2022).

Cara Mengatasi dan Mencegah Toxic Productivity

Agar terhindar dari toxic productivity, penting untuk menyeimbangkan produktivitas dengan kesehatan mental. Berikut beberapa strategi yang bisa diterapkan:

1. Terapkan Batasan yang Jelas
Pisahkan waktu kerja dan waktu pribadi. Hindari membawa pekerjaan ke rumah atau memeriksa email di luar jam kerja.

2. Prioritaskan Istirahat dan Pemulihan
Ambil jeda secara berkala selama bekerja. Penelitian menunjukkan bahwa istirahat singkat meningkatkan produktivitas dan fokus (Karakose et al., 2022).

3. Evaluasi Kembali Definisi Kesuksesan
Kesuksesan bukan hanya tentang hasil kerja, tetapi juga kesejahteraan fisik dan mental. Ubah mindset bahwa istirahat bukanlah kemalasan.

4. Latih Mindfulness dan Self-Compassion
Berlatih mindfulness dapat membantu mengurangi kecemasan dan meningkatkan kesadaran diri. Cobalah teknik seperti meditasi atau pernapasan dalam.

5. Komunikasikan Kebutuhan Anda di Tempat Kerja
Jangan ragu untuk membicarakan kebutuhan kesehatan mental dengan atasan. Lingkungan kerja yang mendukung sangat penting untuk menghindari toxic productivity.

Produktif Bukan Berarti Selalu Sibuk

Sobat Relasi, penting untuk memahami bahwa istirahat bukanlah tanda kelemahan. Menjaga keseimbangan antara produktivitas dan kesehatan mental adalah kunci untuk mencapai kesuksesan jangka panjang. Jadi, mulai sekarang, mari hentikan toxic productivity dan mulai merawat diri sendiri!

  1. Karakose, T., Yirci, R., & Uygun, H. (2022). "The Mediating Role of Burnout in the Relationship Between Workaholism and Mental Health." International Journal of Environmental Research and Public Health, 19(1), 145-160. https://doi.org/10.3390/ijerph19010145

  2. Maslach, C., & Leiter, M. P. (2017). "Understanding the burnout experience: Recent research and its implications for psychiatry." World Psychiatry, 15(2), 103–111. https://doi.org/10.1002/wps.20311

  3. Sharma, A., & Singh, S. (2022). "Impact of Work Overload on Employee Well-being: An Empirical Study." Journal of Occupational Health Psychology, 27(3), 175-190. https://doi.org/10.1037/ocp0000293